Sekilas Mengenai Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)

Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) merupakan badan yang dibentuk oleh MUI dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan sengketa perdata / muamalah Islam dengan memutuskan suatu keputusan hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara arbitrase (tahkim). Namun demikian Basyarnas tidak menutup diri untuk menyelesaikan perkara perdata lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Keputusan yang telah ditetapkan oleh Basyarnas terhadap perkara yang diajukan kepadanya bersifat binding (mengikat) dan final (tidak ada banding atau kasasi). Namun demikian pembatalan keputusan arbitrase dapat dilakukan sesuai dengan pasal 70 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan juga secara tidak langsung telah membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Pada dasarnya hukum Islam di Indonesia hanya meliputi hukum keluarga, hukum waris, zakat dan waqaf serta beberapa aturan tentang perbankan dan asuransi syariah di Indonesia. Dengan keluarnya Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, maka telah memberi kesempatan dan peranan lebih besar kepada hukum Islam dalam dunia ekonomi (bisnis) (Sunandar, 2007).

Sejarah Perjalanan Basyarnas

Pada tanggal 21 Oktober 1993 dengan diprakarsai oleh MUI didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Badan ini didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.

Tujuan BAMUI adalah untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan muamalah secara hukum Islam, misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam.

Berdirinya BAMUI di Indonesia diharapkan sebagai dukungan dan partisipasi nyata umat Islam terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan keadilan, ketentraman dan kedamaian di kalangan umat Islam. Wewenang dari lembaga ini adalah meliputi semua lembaga keuangan syariah yang bersifat profit misalnya bank syariah, asuransi syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya (Sunandar, 2007).

BAMUI semula didirikan dalam bentuk Yayasan yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), selanjutnya dalam rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI tanggal 23-26 Desember 2002 ditegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI.

Berdasarkan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No. 82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktober 2003, maka MUI dengan Surat Keputusan no. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawwal 1424 / 24 Desember 2003 menetapkan bahwa :

  1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
  2. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi badan yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
  3. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, Basyarnas bersifat otonom dan independen.
  4. Mengangkat Pengurus Basyarnas dengan susunan pengurus yang baru.

Basyarnas berkedudukan di Ibu kota negara Republik Indonesia. Saat ini Basyarnas sudah mempunyai kantor perwakilan di 15 (lima belas) daerah dan akan terus dibuka kantor perwakilan di daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dari daerah tersebut (Paripurno, 2009). Pembukaan kantor perwakilan di daerah bekerja sama dengan pimpinan MUI di tingkat provinsi setempat.

Walaupun sampai sekarang masih sangat sedikit kasus perdata yang berhubungan dengan masalah muamalah Islam yang diselesaikan oleh Basyarnas, namun bukan berarti ia belum melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya, tetapi karena permasalahan yang terjadi di lembaga-lembaga keuangan Islam sampai saat ini masih dapat diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan, sehingga tidak perlu sampai mengadukan perkaranya ke Basyarnas.

Prosedur Berperkara Melalui Basyarnas

Mengenai prosedur berperkara di Basyarnas telah diatur dengan sistematis sejak masih bernama BAMUI. Secara garis besar aturan tersebut dituangkan dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang diberlakukan sejak 21 Oktober 1993. Beberapa tambahan yang terjadi hanya bersifat teknis untuk menyempurnakan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Adapun prosedur penyelesaian sengketa melalui Basyarnas dimulai sejak penyerahan secara tertulis oleh para pihak yang sepakat untuk penyesaian persengketaan melalui Basyarnas sesuai dengan peraturan prosedur yang berlaku. Pihak yang bersengketa sepakat akan menyelesaikan persengketaan mereka dengan ishlah (perdamaian) tanpa ada suatu persengketaan berkenaan dengan perjanjian atas pemintaan para pihak tersebut. Kesepakatan ini dicantumkan dalam klausula arbitrase.

Basyarnas mempunyai peraturan prosedur yang memuat tata cara penanganan suatu perkara, antara lain permohonan untuk mengadakan arbitrase, penetapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian, pembuktian dan saksi-saksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilan keputusan, pendaftaran putusan dan pelaksanaan putusan (eksekusi).

Pada garis besarnya proses arbitrase melalui Basyarnas dimulai dengan permohonan arbitrase dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan arbitrase sesuai dengan peraturan prosedur Basyarnas sebagai berikut :

  1. Proses arbitrase dimulai dengan menyampaikan atau mendaftarkannya surat permohonan untuk menyelenggarakan arbitrase ke sekretariat Basyarnas (Pasal 3 peraturan prosedur).
  2. Ketua Basyarnas menetapkan arbiter (tunggal atau majelis) yang akan memeriksa dan memutus perkara (pasal 7 ayat 1).
  3. Arbiter memberitahukan kepada Termohon agar menanggapi permohonan dan menjawab secara tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari. (Pasal 7 ayat 3)
  4. Salinan jawaban Termohon akan diserahkan kepada Pemohon, disertai panggilan kepada para pihak untuk menghadap di muka siding arbitrase pada hari/tanggal yang telah ditentukan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari. (Pasal 13)
  5. Sebelum pemeriksaan dimulai, arbiter harus berusaha mendamaikan para pihak. (Pasal 19 ayat 1)
  6. Apabila dianggap perlu arbiter, baik atas permintaan para pihak maupun atas prakarsa sendiri, dapat memanggil saksi atau ahli untuk didengar keterangannya. (Pasal 20 ayat 2)
  7. Apabila arbiter menganggap pemeriksaan telah cukup, maka arbiter akan menutup pemeriksaan ini dan menetapkan satu hari siding guna membacakan putusan. (Pasal 22 ayat 1)
  8. Salinan putusan yang telah ditandatangani oleh arbiter diberikan kepada masing-masing para pihak. (Pasal 25 ayat 2)
  9. Lembar asli putusan arbitrase didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri (Pengadilan Negeri digantikan oleh Pengadilan Agama sesuai dengan SEMA no. 08 tahun 2008, tertanggal 10 Oktober 2008) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan dibacakan. (Pasal 25 ayat 4).
  10. Putusan arbitrase wajib ditaati dan dilaksanakan secara sukarela (pasal 25 ayat 1).
  11. Apabila putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa seperti pelaksanaan putusan eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 25 ayat 6).

By Abdul Rohman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *