Kompetensi Absolut Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia

Perkembangan pengaruh hukum Islam di Indonesia dewasa ini, tidak hanya terbatas pada permasalahan hukum keluarga dan kehartabendaan saja, tetapi telah merambah pada kegiatan perekonomian/bisnis. Bentuk nyata perkembangan tersebut adalah pemberian dasar hukum terhadap keberadaan bisnis syariah khususnya bentuk usaha perbankan dan lembaga keuangan syariah yang prinsip-prinsip pengelolaan dan teknis operasionalnya didasari oleh kaidah-kaidah hukum Islam (bisnis syariah) dan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak (nasabah dan pengelola/institusi) didasari oleh perjanjian (akad) syariah berdasarkan prinsip kemitraan.

Hubungan hukum yang dibangun pada transaksi bisnis syariah pada umumnya didasarkan pada kontrak/akad, jika dilihat secara yuridis bahwa perjanjian (akad) bisnis syariah dipengaruhi oleh dua lingkup bidang hukum yang berbeda, yaitu pertama satu sisi perjanjian bisnis syariah dapat digolongkan sebagai hubungan hukum keperdataan, dimana penyelesaian sengketanya seharusnya menjadi wilayah kompetensi peradilan umum, kedua dilihat secara materil perjanjian syariah didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam yang seharusnya masuk ke dalam wilayah kompetensi peradilan agama.

Kewenangan Peradilan Agama

Sejarah keberadaan hukum Islam yang secara tegas telah menjadi hukum positif di Indonesia sudah diketahui secara umum, awalnya hukum Islam hanya meliputi wilayah hukum keluarga dan kehartabendaan, selanjutnya telah meluas dan dikumpulkan dalam kompilasi hukum Islam. Kenyataannya bahwa untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum materil Islam yang telah menjadi hukum positif tersebut, hukum acara perdata dan peradilan umum ternyata tidak memiliki aturan khusus dalam hal kewenangan untuk mengadili, meskipun secara yuridis dapat dikatakan bahwa permasalahan yang diatur didalam kompilasi hukum Islam tersebut juga mengatur mengenai hubungan-hubungan hukum yang bersifat keperdataan, namun secara yuridis tidak termasuk didalamnya hubungan-hubungan hukum keperdataan yang berdasarkan sistem hukum Islam, apalagi dalam bidang ekonomi/bisnis syariah. Untuk memenuhi hal tersebut, maka pemerintah membentuk suatu peradilan khusus yaitu Peradilan Agama yang awalnya diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara RI No. 49 tahun 1989, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3400 Tahun 1989) dan telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara RI Tahun 2006 No. 22, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4611) yang juga menjadi bagian dari lingkup kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pengadilan Agama dengan kompetensi absolut yang sebelumnya hanya terbatas pada hukum materil yang terdapat didalam kompilasi hukum Islam, sebagaimana pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
(a) Perkawinan;
(b) Kewarisan;
(c) Wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
(d) Wakaf dan sedekah

Namun sejak dirubah oleh UU No. 3 Tahun 2006, maka berdasarkan ketentuan Angka (37) UU No. 3 Tahun 2006, maka redaksional Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 konpetensi Peradilan Agama diperluas lagi menjadi:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaqah; dan
i. Ekonomi Syariah.

Dalam penjelasan angka 37 UU No. 3 Tahun 2006, diterangkan secara rinci mengenai ruang lingkup “Ekonomi Syariah” sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 49 huruf (i), yaitu:
Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. bank syariah;
b. lembaga keuangan mikro syariah;
c. asuransi syariah;
d. reasuransi syariah;
e. reksa dana syariah;
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
g. sekuritas syariah;
h. pembiayaan syariah;
i. pegadaian syariah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
k. bisnis syariah.

Sebelum adanya perubahan terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tersebut, secara yuridis penyelesaian sengketa ekonomi syariah tetap dimungkinkan melalui peradilan agama, namun dengan persyaratan tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa
“Selain tugas kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 dan pasal 51, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang”.

Dalam penjelasannya juga dipertegas bahwa: yang dimaksud “oleh undang-undang” adalah ditetapkan atau diatur dalam undang-undang tersendiri…”, dengan demikian pengadilan agama dapat dimungkinkan untuk diserahi tugas dan wewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah jika ada undang-undang yang secara tegas mengatur tentang hal tersebut.

Kewenangan Peradilan Umum

Kewenangan Peradilan Umum dalam meyelesaikan sengketa bisnis syariah dapat dilihat dari ketentuan Pasal 14 UU No. 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara secara perdamaian.

Ketentuan pasal 14 ayat (1) diatas merupakan salah satu asas dalam hukum acara perdata Indonesia dan ini berlaku untuk seluruh lingkungan peradilan yang ada di seluruh Indonesia tanpa terkecuali, hal ini mengingat ketentuan dalam pasal 14 ayat (1) tidak menyebutkan secara eksplisit lingkungan peradilan mana saja yang dapat menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 14 ayat (1) ini dapat dilihat penjelasannya yang menyatakan bahwa:
“Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan Negara”

Namun pasal 14 ayat (2) memberikan pengecualian terhadap ketentuan pada pasal 14 ayat (1), yaitu dengan cara memberikan kemungkinan bahkan mewajibkan para hakim untuk menganjurkan dilakukannya suatu perdamaian kepada para pihak terhadap sengketa yang akan diselesaikan melalui jalur pengadilan (litigasi) sebelum proses hukum selanjutnya diteruskan, tetapi kemungkinan tersebut hanya diberikan terhadap perkara yang sifatnya keperdataan saja.

Kewenangan Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas)

Sejak masa kemerdekaan sampai dengan sekarang ini, keberadaan lembaga arbitrase di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat, meskipun ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang”. Namun hal yang paling penting adalah penjelasan pasal 3 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
“Pasal ini mengandung arti bahwa di samping Peradilan Negara, tidak boleh lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan”.

Dari penjelasan pasal 3 ayat (1) tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan lembaga arbitrase di Indonesia hingga berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, telah menjadi bagian dari sistem penyelesaian sengketa yang sah diakui oleh hukum Indonesia. Dengan demikian secara tidak langsung bahwa status hukum lembaga arbitrase Islam di Indonesia yang berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat khusus juga memiliki dasar hukum yang kuat, bahkan setelah UU No. 30 tahun 1999 disahkan kedudukannya semakin memiliki kepastian hukum terhadap penggunaan lembaga alternatif penyelesaian sengketa khususnya arbitrase, sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 :
“Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa”.

Dengan demikian di Indonesia sejak dibentuknya BAMUI yang kemudian berubah menjadi Basyarnas, maka sengketa yang muncul dari perjanjian (akad) dari transaksi perbankan dan lembaga keuangan syariah dapat diselesaikan juga melalui lembaga arbitrase Islam (Basyarnas) sebagai alternatif penyelesaian sengketa (APS).

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka meskipun secara yuridis bahwa Peradilan Umum dan Peradilan Agama tetap memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia, dengan adanya dasar hukum yang kuat terhadap keberadaan lembaga arbitrase Islam (Basyarnas) justru memberikan keuntungan positif bagi para pelaku ekonomi (khususnya perbankan dan lembaga keuangan) syariah di Indonesia. Keuntungan positif itu berupa tersedianya alternatif pilihan bagi para pelaku bisnis syariah tersebut dalam menentukan pilihan terhadap lembaga penyelesaian sengketa yang paling tepat (motivated by positive economic incentives).

Dengan demikian keberadaan Basyarnas tentunya juga dapat menjadi salah satu pendukung perkembangan bisnis syariah di Indonesia dilihat dari aspek lembaga penyelesaian sengketa yang sah menurut hukum dalam menyelesaikan sengketa ekonomi (khususnya perbankan dan lembaga keuangan) syariah di Indonesia.

By Abdul Rohman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *